JAKARTA. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed kembali
mempertahankan suku bunga acuan di level 0,25%-0,5%. Sedangkan dari
dalam negeri, reshuffle kabinet pemerintahan Joko Widodo disambut
positif oleh pelaku pasar.
Seperti dilansir oleh Kontan.co.id, Dua sentimen tersebut berpotensi mendorong performa pasar Surat Utang Negara (SUN). Mengacu Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) per Kamis (28/7), kinerja pasar obligasi negara yang tercermin pada INDOBeX Government Total Return terangkat 16,42% (ytd) ke level 209,99.
Dengan mempertimbangkan keputusan The Fed pada pertemuan 26-27 Juli 2016, Direktur Investasi PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Alvin Pattisahusiwa memperkirakan, kenaikan suku bunga acuan The Fed baru dapat terealisasi pada kuartal II-2017.
Berdasarkan konsensus terbaru, peluang kenaikan suku bunga The Fed pada Desember 2016 hanya mencapai 8,6%. Sebelumnya pada separuh pertama tahun 2016, The Fed urung merealisasikan rencana itu karena kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia, termasuk China.
Namun, sikap dovish kian menguat pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit. Apalagi sepertiga dari obligasi negara di dunia mencatatkan imbal hasil negatif pasca Brexit. "Investor yang awalnya panik ke safe haven menjadi rasional. Mereka mencari obligasi di negara-negara yang berpotensi tumbuh, termasuk Indonesia," terangnya.
Mengacu Asian Bonds Online per 28 Juli 2016, yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun mencapai 7,01%. Angka tersebut lebih menarik ketimbang imbal hasil obligasi bertenor sama negara Amerika Serikat 1,49%, China 2,82%, Thailand 2,07%, Filipina 3,11%, hingga Jepang minus 0,28%.
Sentimen positif lain juga berasal dari perombakan menteri pada 27 Juli lalu. Pasar menyambut baik Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan. Mantan Managing Director Bank Dunia ini dinilai mampu menjaring dana asing agar masuk ke pasar modal domestik.
Cuma sentimen
Serupa, Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto mengungkapkan, memudarnya rencana kenaikan suku bunga The Fed akan menjadi katalis positif bagi pasar SUN. Sebab, rupiah berpeluang stabil hingga pengujung tahun 2016. Performa mata uang Garuda menjadi pertimbangan utama investor asing dalam menimbun dana di obligasi negara.
Jika rupiah melemah, keuntungan investor asing akan mengecil ketika dikoversikan ke dollar AS. "Masuknya Sri Mulyani ke jajaran kabinet memang sentimen baik. Tapi hanya sekadar sentimen, fundamental akhirnya tetap harus mengikuti," imbuhnya.
Rudiyanto mengungkapkan, membaiknya pasar domestik menjadi kunci utama pertumbuhan obligasi negara. Sebab, Bank Indonesia (BI) berpotensi menurunkan suku bunga minimal 25 bps lagi pada triwulan keempat tahun 2016.
Di semester pertama, BI sudah memangkas suku bunga total 100 bps menjadi 6,5%. Alvin juga melihat masih ada ruang pemangkasan suku bunga BI sekitar 25 bps-50 bps hingga pengujung tahun 2016.
Lalu Standard & Poor's yang bakal meninjau kembali peringkat Indonesia di kuartal IV-2016. Alvin memprediksi, yield SUN tenor 10 tahun bakal bergulir di 6,5%-7% di akhir tahun 2016. Prediksi Rudiyanto di level 6,8%.
Seperti dilansir oleh Kontan.co.id, Dua sentimen tersebut berpotensi mendorong performa pasar Surat Utang Negara (SUN). Mengacu Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) per Kamis (28/7), kinerja pasar obligasi negara yang tercermin pada INDOBeX Government Total Return terangkat 16,42% (ytd) ke level 209,99.
Dengan mempertimbangkan keputusan The Fed pada pertemuan 26-27 Juli 2016, Direktur Investasi PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Alvin Pattisahusiwa memperkirakan, kenaikan suku bunga acuan The Fed baru dapat terealisasi pada kuartal II-2017.
Berdasarkan konsensus terbaru, peluang kenaikan suku bunga The Fed pada Desember 2016 hanya mencapai 8,6%. Sebelumnya pada separuh pertama tahun 2016, The Fed urung merealisasikan rencana itu karena kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia, termasuk China.
Namun, sikap dovish kian menguat pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit. Apalagi sepertiga dari obligasi negara di dunia mencatatkan imbal hasil negatif pasca Brexit. "Investor yang awalnya panik ke safe haven menjadi rasional. Mereka mencari obligasi di negara-negara yang berpotensi tumbuh, termasuk Indonesia," terangnya.
Mengacu Asian Bonds Online per 28 Juli 2016, yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun mencapai 7,01%. Angka tersebut lebih menarik ketimbang imbal hasil obligasi bertenor sama negara Amerika Serikat 1,49%, China 2,82%, Thailand 2,07%, Filipina 3,11%, hingga Jepang minus 0,28%.
Sentimen positif lain juga berasal dari perombakan menteri pada 27 Juli lalu. Pasar menyambut baik Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan. Mantan Managing Director Bank Dunia ini dinilai mampu menjaring dana asing agar masuk ke pasar modal domestik.
Cuma sentimen
Serupa, Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto mengungkapkan, memudarnya rencana kenaikan suku bunga The Fed akan menjadi katalis positif bagi pasar SUN. Sebab, rupiah berpeluang stabil hingga pengujung tahun 2016. Performa mata uang Garuda menjadi pertimbangan utama investor asing dalam menimbun dana di obligasi negara.
Jika rupiah melemah, keuntungan investor asing akan mengecil ketika dikoversikan ke dollar AS. "Masuknya Sri Mulyani ke jajaran kabinet memang sentimen baik. Tapi hanya sekadar sentimen, fundamental akhirnya tetap harus mengikuti," imbuhnya.
Rudiyanto mengungkapkan, membaiknya pasar domestik menjadi kunci utama pertumbuhan obligasi negara. Sebab, Bank Indonesia (BI) berpotensi menurunkan suku bunga minimal 25 bps lagi pada triwulan keempat tahun 2016.
Di semester pertama, BI sudah memangkas suku bunga total 100 bps menjadi 6,5%. Alvin juga melihat masih ada ruang pemangkasan suku bunga BI sekitar 25 bps-50 bps hingga pengujung tahun 2016.
Lalu Standard & Poor's yang bakal meninjau kembali peringkat Indonesia di kuartal IV-2016. Alvin memprediksi, yield SUN tenor 10 tahun bakal bergulir di 6,5%-7% di akhir tahun 2016. Prediksi Rudiyanto di level 6,8%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar